Dorong Ekonomi Tumbuh Tinggi, Utang Pemerintah Masukkan ke Sektor Impactful

INVESTORTRUST.ID – Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) pada 20 Juni lalu menggarisbawahi, dari faktor domestik, tekanan pada rupiah juga disebabkan oleh persepsi terhadap kesinambungan fiskal ke depan. Hal ini pun segera disambut dengan penjelasan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan Tim Gugus Tugas Sinkronisasi Presiden Terpilih Prabowo Subianto, yang antara lain menegaskan komitmen menjaga defisit anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) 2025 tetap rendah, di bawah 3% terhadap produk domestik bruto (PDB).

Lalu, muncul pertanyaan juga, apakah 3% tersebut harga mati? Apakah memungkinkan defisit APBN 2025 lebih dari 4% PDB RI, mengingat India punya defisit fiskal sekitar 5,6% PDB berdasarkan catatan India Times, yang bisa mendorong pertumbuhan ekonomi tembus 7,8% dalam kuartal yang berakhir 31 Maret 2024. Sementara dalam triwulan yang sama, pertumbuhan ekonomi Indonesia 5,11%, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS).

Penulis menilai, dalam hal ini harus ditelaah dulu sejumlah faktor fundamentalnya. Yang pertama adalah struktur utangnya.

Formasi utang untuk membiayai defisit APBN harus memiliki struktur yang jelas. Struktur yang jelas itu artinya apa? Artinya nilai utang itu memiliki penyerapan yang sesuai dan efektif.

Kalau kita melihat ekonomi Indonesia yang bisa tecermin di Bursa Efek Indonesia, yang menjadi barometer pertumbuhan ekonomi berbasis 11 sektor, dengan masing-masing memiliki berbagai macam turunan subsektor. Dari situ, sedikit-banyak, penentuan utang pemerintah harus didasarkan pada pembiayaan untuk sektor yang akan memiliki impact besar kepada masyarakat, kemudian memiliki dampak peningkatan skala keekonomian signifikan.

Penentuan pembiayaan negara harus dipertimbangkan dengan cermat, apakah akan menjadi sebuah peluang atau justru tantangan. Nah, langkah yang harus dipastikan adalah membuat struktur dari penyalurannya lebih tepat. Ini bukan salah, tetapi harus lebih tepat.

Sekali lagi bukan salah. Tetapi, postur penyaluran itu harus memiliki serapan yang sesuai tujuan mendorong pertumbuhan ekonomi lebih tinggi, agar mampu mewujudkan Indonesia Emas 2045. Ini adalah visi Indonesia menjadi negara maju dengan penghasilan tinggi, saat 100 tahun merdeka.

Debt to GDP Ratio
Yang kedua, berbasis gross domestic product (GDP). Jadi harus dibandingkan debt to GDP ratio.

Ratio yang selama ini sudah kita lalui, itu sebenarnya membuktikan Indonesia sustain, yakni mampu berada dalam utang atau dalam skala utang atau dalam rasio utang yang terkendali. Namun, sebenarnya, akan lebih optimal apabila utang tersebut masuk kepada sektor-sektor yang klasterisasinya sudah lebih impactful, atau memiliki daya letup atau daya saing yang lebih tinggi.

Pasalnya, selama ini masih bersifat masif. Masif itu artinya apa? Utang atau pengelolaannya terkelompok pada satu sektor yang durasinya sangat lama. Misalkan tahun ini properti, maka ke properti sangat lama. Tahun ke depan, misalnya ke perkebunan, ke perkebunan sangat lama.

Pertumbuhan ekonomi empat negara dengan populasi terbesar di dunia, Infografis: diolah Riset Investortrust.
Harusnya lebih agile dengan sektor-sektor yang memang sedang diapresiasi oleh pasar. Sehingga, jangan sampai nanti seperti dulu di mana rata-rata pertumbuhan masih berkutat di sekitar 5%.

Misalnya kita bisa lihat tahun 2011 yang didengungkan sebagai tahun infrastruktur, maka dibangun infrastruktur yang sangat lama selama ini. Seharusnya tahun 2019, tahun 2024, dan seterusnya, ada tema-tema sektoral yang sesuai dengan kemampuan atau dampak dari utang yang jauh lebih bagus.

Jika perbaikan ini dilakukan, jelas akan lebih baik, sehingga mencapai tujuan keekonomiannya. Misalnya tahun 2025, sektor apa yang cocok? Saya melihat sektor-sektor yang ada impact-nya adalah salah satunya perbankan. Kemudian, berikutnya masih ada di sektor energi.

Kita tahu energi dan perbankan itu dua sektor yang memiliki dampak yang sangat luas bagi RI. Di sektor perbankan atau keuangan sudah terbukti dalam 10 tahun terakhir banyak sekali mergers and acquisitions (M&A). Fenomena M&A itu membuktikan sektor keuangan memiliki daya saing yang luar biasa untuk menghasilkan nilai tambah, bukan hanya untuk korporasi tersebut, tapi juga untuk masyarakat luas.

Yang kedua, sektor energi dan resource-based, sesuai negara kita yang memang berbasis sumber daya alam. Ini masih memiliki ruang pertumbuhan.

Kita bisa lihat juga Presiden Joko Widodo telah mengatakan dapat memperpanjang konsesi PT Freeport Indonesia sampai cadangannya habis, misalnya. Artinya, masih ada ruang untuk memperoleh dampak ekonomi di sektor pertambangan itu.

Dua sektor tersebut yang masih sangat menarik tentunya layak didorong pengembangannya ke depan.

Figur-Figur Menteri Dibutuhkan
Lalu, pertanyaan berikutnya adalah figur-figur bagaimana yang dibutuhkan untuk mengisi posisi menteri keuangan dan menteri badan usaha milik negara (BUMN) yang strategis? Yang pertama, figurnya harus agile.

Agile itu lebih lincah, lebih adaptif. Ini karena kondisi keekonomian bukan hanya di dunia, tapi di kawasan regional Asia juga berubah dengan sangat cepat.

Jadi, memang harus yang adaptif dan mampu memberikan produk peraturan yang sesuai dengan kondisi Indonesia sebagai negara berkembang. Dengan demikian, produk peraturannya juga harus adaptif terhadap kondisi kita sebagai emerging market.

Kedua, harus lebih muda. Ini harus lebih muda dalam arti bukan berarti karena ada fenomena wakil presiden yang lebih muda, tetapi memang dibutuhkan satu figur yang memiliki kecepatan dan kecekatan, terutama terhadap kebijakan. Itu yang ideal untuk di masa mendatang.

Mengenai program ikonik pemerintahan baru, tentu dipastikan dilaksanakan program makan bergizi gratis. Sementara pemerintahan lama masih akan melanjutkan proyek Ibu Kota Nusantara (IKN).

Kalau kita melihat sejarah dunia, dulu pada saat Jepang runtuh usai pengeboman Hiroshima-Nagasaki, yang dibangun pertama kali adalah sumber daya manusia (SDM), termasuk melalui peningkatkan kualitas guru. Guru ini menjadi sokoguru pembangunan bangsa.

Nah, dengan program makan bergizi ke depan, dampaknya akan cukup baik. Pasalnya, yang ingin dibangun adalah sumber daya manusia. Akan tetapi, memang perlu konsolidasi terhadap anggaran negara, melalui APBN yang sehat dan kredibel.

Lalu bagaimana IKN? IKN pun saya sepakat dibangun, agar ada pemisahan antara kota pemerintahan dan kota modal. Seperti yang sudah kita lihat di New York sebagai kota bisnis, kota padat modal, dan Washington DC sebagai kota pemerintahan di Amerika Serikat.

Investor Butuh Kepastian Kebijakan
Kita perlu pula menggarisbawahi, investor di masa transisi pemerintahan ini membutuhkan kepastian kebijakan dan kepastian figur siapa yang akan menjadi anggota kabinet, terutama di pos menteri keuangan dan menteri BUMN. Apalagi ada fenomena hingga April 2024, pajak penghasilan (PPh) badan turun 29,12%. Sementara, juga terjadi kontraksi ekonomi dilihat dari kinerja kuartal IV-2023 ke kuartal I-2024, merujuk data BPS.

Kondisi yang volatile ini sebenarnya suatu kewajaran dalam beberapa periode terakhir, karena beberapa pertimbangan seperti skala keekonomian dibandingkan sentimen yang ada. Nah, apa itu hubungan sentimen yang ada dengan skala keekonomian?

Pertama, emerging market seperti Indonesia masih memiliki ketergantungan terhadap negara/kawasan mitra dagang utama, seperti Amerika Serikat, Eropa, dan Cina. Karena adanya ketergantungan terhadap mitra dagang tersebut, yang bisa dikatakan negara maju, sementara kita adalah negara berkembang, maka kontraksi ekonomi mereka menjadi hal yang wajar menekan kita pula.

Akan tetapi, tetap ada upaya yang harus diperhatikan mengenai persoalan kemampuan skala ekonomi berbasis sumber, atau berkaitan dengan sumber daya. Apakah satu Indonesia ini memperoleh pendapatan berbasis resources atau sumber daya, ataukah kita bisa belajar dari negara yang memperoleh sumber pendapatan dari logistik, seperti Singapura misalnya. Ada pula yang memperoleh sumber pendapatan dari infrastruktur, contohnya Cina dengan masifnya pembangunan infrastruktur.

Itulah sebabnya, kondisi sekarang urgen sebenarnya harus ditangani dengan tematik, atau dengan kekhususan, atau dengan tema tertentu yang berdaya ungkit tinggi. Di sisi lain, kita pun bisa melihat bahwa persoalan di masa yang akan datang justru dapat lebih manageable. Kita justru akan lebih mudah menyesuaikan, karena dalam kondisi ketidakpastian yang menyebabkan kontraksi ini kita sudah mengetahui bottom line ekonomi dalam negeri seperti apa, dan top line ekonomi akan seperti apa? Artinya, walaupun mungkin saat ini pertumbuhan riil ekonomi kita kontraksi, tapi kita menjadi tahu resiliennya. ****

Bagikan:

Artikel Lainnya