Jakarta, Beritasatu.com – Pembentukan Sovereign Wealth Fund (SWF) yang dinamakan Lembaga Pengelola Investasi (LPI) atau Indonesia Investment Authority (INA) akan segera rampung dan mulai beroperasi sebelum akhir kuartal I 2021. Apalagi, Presiden Joko Widodo telah mengirim nama-nama calon dewan pengawas (Dewas) SWF ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Selasa (12/1) dan telah disambut baik. Sehingga, diperkirakan pada pekan depan, Dewas SWF telah terbentuk.
Staf Khusus Bidang Perumusan Kebijakan Fiskal dan Makro Ekonomi Kementerian Keuangan Masyita Crystallin menjelaskan bahwa saat ini Peraturan Pemerintah (PP) 73 dan PP 74 mengenai modal dan dewan pengurus saat ini sudah ada. Di mana, dewan pengawas terdiri dari lima orang, dua di antaranya Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan Menteri BUMN Erick Thohir dan tiga orang dari unsur profesional.
“Jadi, akan segera diumumkan Insyaallah minggu depan dan akan langsung membentuk komite-komite untuk meng-hire (mempekerjakan) dewan direktur yang akan dipilih dari profesional dan juga jumlahnya lima orang. Mudah-mudahan sebelum kuartal I berakhir SWF ini sudah up and running,” katanya dalam Zooming With Primus “SWF Effect Bagi Ekonomi” yang disiarkan secara langsung di Berita Satu News Channel, Kamis (14/1/2020).
Meskipun memiliki mitra investasi strategis, namun pemilik SWF ini disebutkannya 100% milik Republik Indonesia. Diakuinya, saat ini banyak sekali yang tertarik untuk berinvestasi di Indonesia. Hal itu tak terlepas dari demografi penduduk Indonesia yang masih muda sehingga pertumbuhannya ekonominya masih menarik. Tetapi yang menjadi pertanyaan investor global saat ini dimana mereka harus berinvestasi.
“Jadi, kita menciptakan SWF ini sebagai lembaga independen, langsung report kepada presiden, kemudian aturannya mengikuti standar internasional sehingga dia menjadi mitra terpercaya. Sehingga investor global yang ingin investasi di Indonesia mendapatkan mitra yang dapat dipercaya,” ungkap Masyita.
Secara terpisah, Presiden Joko Widodo mengungkapkan banyak negara di dunia mulai menunjukkan ketertarikannya pada SWF, yakni mulai dari Amerika Serikat, Jepang, serta Uni Emirat Arab. Selain itu juga Arab Saudi dan Kanada. Harapannya, LPI bisa menjadi sumber pembiayaan pembangunan baru. Sehingga Indonesia tidak hanya akan mengandalkan utang dalam dalam proses pembangunan ekonomi.
Terkait permodalan, Masyita menyebutkan modal SWF yang dimiliki Indonesia mencapai US$ 5 miliar atau Rp 75 triliun. Dengan besaran modal yang dimiliki itu, pemerintah menargetkan bisa menarik investasi baru tiga kali lipat, yakni mencapai Rp 225 triliun.
“Untuk mencapai dana kelolaan yang tinggi dibutuhkan pipeline proyek yang harus sudah rapi. Tinggal bagaimana mix and match yang betul. Tapi, saya optimis ini akan roll over cepat. Kita harus menjaga kehati-hatian FDI (penanaman modal asing) yang masuk dengan proyek yang dilakukan. Di awal Rp 500 triliun tidak akan makan waktu lama, melihat masih ada aset jalan tol, bandara dan pelabuhan yang akan masuk ke aset SWF,” imbuh dia.
Ekonom dan Praktisi Pasar Modal Lucky Bayu Purnomo menilai, perusahaan yang memiliki basis infrastruktur akan tetap menjadi primadona investor, karena sebelum adanya pandemi, ini merupakan sektor yang diperhatikan pemerintah mengingat cita-cita negara berkembang untuk menuju negara maju salah satu syaratnya adalah infrastruktur yang terintegrasi dan terpadu. “Jadi untuk 2021 dengan adanya SWF diharapkan emiten karya memperoleh sentimen positif. Tetapi yang perlu menjadi catatan bahwa potensial upside tersebut masih bersifat terbatas apabila tidak distimulus dengan kebijakan yang memberikan akselerasi terhadap lintas lembaga,” katanya.
IHSG 7.000
Bayu pun memprediksi, jika SWF ini terbentuk maka Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) akan terdorong ke level psikologis barunya yakni di level 7.000. Pasalnya, saat ini penguatan IHSG masih cenderung terbatas dan belum mencapai titik yang pernah dicapainya sebelum pandemi yang mencapai 6.600.
Sementara itu, SWF dinilai memberi katalis positif bagi perusahaan infrastruktur untuk membantu daur ulang aset. Hal ini diakui Direktur Utama PT Waskita Karya (Persero) Tbk Destiawan Soewardjono.
“SWF harapan besar bagi perusahaan kontraktor yang ingin juga investasi untuk recurring income. Kebutuhan infrastruktur kan masih sangat besar, meski APBN untuk infrastruktur meningkat tiap tahun, tapi untuk memenuhi kebutuhan infrastruktur itu dana pemerintah belum cukup. Dengan adanya SWF ini harapan kami, kami bisa lebih leluasa untuk dapatkan pendanaan selain dari komersial seperti perbankan,” ujar dia.
Perseroan, sambungnya juga membutuhkan pendanaan jangka panjang sehingga proses bisnis utamanya di jalan tol akan terus berputar. Di mana, untuk investasi jalan tol rata-rata membutuhkan waktu 10-15 tahun untuk balik modal.
“Dari 2010-2019 kebutuhan Rp 4.900 triliun, baru bisa dipenuhi 40% dari anggaran pemerintah, sisanya dari anggaran BUMN maupun swasta. Karena pasti kedepan akan lebih besar, pertumbuhan ekonomi membutuhkan infrastruktur yang bagus. Dalam 5 tahun depan diperkirakan berlipat. Apalagi Jawa konektivitas toll road-nya kebutuhannya makin banyak, belum Sumatera, Sulawesi, Kalimantan,” pungkasnya.